https://www.excite.co.jp/news/article/Japaaan_68439/image/1/
Manzai adalah sebuah seni melawak yang untuk beberapa kali sering diasosiasikan dengan wilayah Osaka, dan menggunakan dialek Kansai sebagai bahan pertunjukkannya. Pertunjukan manzai biasanya dilakukan oleh dua orang yang bercakap-cakap di depan audiens menceritakan sesuatu yang lucu, janggal atau tidak masuk akal dengan irama berbicara saling sahut-menyahut. Satu orang biasanya sebagai tsukkomi (si pintar) yang bertugas sebagai pengumpan lelucon, dan seorang lagi berperan sebagai boke (si bodoh) yang memakan umpan lelucon yang dilempar oleh tsukkomi. Pelaku manzai biasanya disebut sebagai Manzai-shi, dan pasangan manzai disebut sebagai Konbi. Banyak manzai-shi yang terkenal di Jepang seperti Bananaman, Audrey, Sandwich Man, Non Style, dan lainnya.
Pada awalnya, manzai dimulai pada abad pertengahan yang dilakukan sebagai salah satu pertunjukkan ritual pada tahun baru yang dilakukan oleh pasangan penghibur yang berkeliling yang menggabungkan keberuntungan dengan pertunjukkan yang mengundang tawa. Menurut Maeda Isamu, manzai muncul pada periode akhir Heian (794-1185). Namun, “seni lelucon” pada manzai sendiri baru eksis pada periodde Muramochi (1392-1573), yang mana melahirkan manzai yang dikenal sampai saat ini.
Pada zaman dahulu, para penghibur manzai melakukan pertunjukkannya dari pintu ke pintu, melakukannya dengan berpasangan; satu orang menjadi yang serius yang disebut tayu, mengenakan topi seremonial yang disebut eboshi, mantel besar yang disebut haori, dan kipas tangan yang disebut sensu, yang akan melakukan nyanyian-nyanyian dan tarian dengan cara yang bermartabat dengan imbalan segenggam beras atas sedikit uang. Di lain sisi, satu orang menjadi “badut” yang disebut dengan saizo, menggunakan topi dan jas yang sama dengan karung beras yang dibawa pada bahunya, yang melakukan pukulan pada alat seperti kendang bernama tsuzumi. Sebagai penutup, si saizo akan menyelipkan humor-humor di dalamnya dan si tayu akan menegurnya dan memukul kepalanya dengan kipas yang dibawanya.
Seiring berjalannya waktu, berbagai macam jenis manzai dari berbagai regional berkembang di Jepang, dan manzai juga berkembang menjadi pertunjukkan yang dapat dinikmati di sepanjang tahun sebagai sebuah atraksi. Seperti di abad ke-18, manzai dilakukan pada distrik-distrik hiburan seperti di Sakaicho di Edo (Tokyo) dan Gion di Kyoto. Manzai tidak populer sebagai hiburan komersial sampai akhir periode abad ke-19, setelahnya, pada akhir periode Edo, banyak performer baik yang amatir maupun yang semi-amatir akhirnya muncul sebagai profesional pada panggung-panggung kecil di area Osaka. Diantara periode tersebut, banyak lagu- lagu, nyanyian, dan tarian yang dibawakannya pada masa lalu, mereka bawakan pada pertunjukkan manzai mereka, yang mana membuat aturan-aturan manzai menjadi yang paling fleksibel diantara yang lainnya.
Di tahun 1900 terdapat sekitar 65 jenis yose (peformer jalanan) di Osaka, yang membuat kota Osaka merupakan salah satu kota yang unggul dalam perkembangan hiburan yang populer di Jepang. Seperti rakugo, kuudan, ruukyoku, naniwa-bushi yang disertai dengan shamisen (instrumen petik tradisional Jepang), dan hingga pada batas tertentu, manzai. Pada tahun 1912, saat awal mula periode Taisho berlangsung, banyak jenis lagu yang menjadi popular (lagu folk, romantis, ballad) dan performer manzai tetap saja bernyanyi dan saling bersahut-sahutan, tetapi dengan ragam yang lebih luas dan ekspresi yang lebih ekspresif.
Pada akhir tahun 1920-an, meskipun manzai sedang naik daunnya, para performer manzai mulai menemukan masalah dengan aspek-aspek yang tertinggal zaman –seperti pakaian, musik dan instrumentnya ditengah modernisasi dan budaya barat yang mulai masuk ke Jepang. Pada tahun 1930, Yokoyama Entatsu dan Achako, mengenalkan sebuah manzai atas ijin Yoshimoto Corporation di Osaka untuk mempertunjukkan shabekuri manzai, sebuah gaya baru dari manzai yang menekankan pada dialog-dialog, cara berpakaian yang antik yang diadaptasi dari kehidupan modern pada urban Jepang yang cepat. Duo shabekuri manzai ini segera menjadi bentuk yang diadaptasi secara menyeluruh seantero Jepang. Mereka terlibat dalam persahabatan, saling pelengkap protagonis-antagonis, yang secara masing-masing dibagi oleh keduanya; tsukkomi berperan sebagai si pintar, dan si boke berperan sebagai si bodoh.
Kepopuleran manzai semakin meledah setelah Yoshimoto mempromosikan shabekuri manzai ke publik pada perayaan tahun baru di 1933, yang mana dalam mempromosikannya mereka menggunakan karakter baru untuk manzai (kanji man sama seperti pada kata manga, dan zai, yang memiliki arti skill atau talent) sebagai modernisasi image manzai di Jepang, kebijakan tersebut berada di bawah pengaruh oleh Hashimoto Tetsuhiko yang berusaha untuk mengenalkan wajah baru dari manzai yang dikenal kuno. Shabekuri manzai lalu muncul diseluruh media seperti pada stage performance, radio, film, skrip, fonograf, koran, artikel majalah, dan bahkan pertunjukkan TV dan videotape.
Dalam shaberi manzai, struktur percakapannya adalah seorang tsukkomi yang berusaha untuk selalu “meluruskan” si boke dalam penginteptetasikan sebuah cerita yang tidak benar, yang kadang-kadang, tsukkomi menggunakan satu tangan untuk memukul si boke pada bahu, punggung, atau kepalanya. Si boke biasanya memiliki pemikiran yang “bebas” dengan sudut pandang perspektif uniknya sendiri dan absurd untuk mengeluarkan lelucon-lelucon yang dianggap oleh si tsukkomi melenceng dari pemikiran lainnya. Dan tsukkomi berusaha untuk mengintepretasikan lelucon yang dilempar oleh boke.
Dari pertunjukkan pintu ke pintu, hingga menjadi pertunjukan yang berbentuk lelucon dialog seperti shabekuri manzai, merupakan evolusi dari manzai, seni melawak yang ada di Jepang. Nyatanya, manzai sendiri menjadi salah satu kebudayaan tertua di Jepang yang dapat terus dilestarikan walaupun butuh banyak berbagai penyesuaian agar tidak lekang oleh zaman. Tahun 1920 merupakan titik balik dari perkembangan manzai sendiri, karena keberhasilannya melakukan rebranding dan memperkenalkan ulang bentuk manzai.
Sumber:
Stocker, Joel F. (2006). “Manzai: Team Comedy in Japan’s Entertaintment Industry” dalam Understanding Humor in Japan (51-74). Michigan: Wayne State University.