Linggaupos-disway
Gelombang penolakan terhadap kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen terus menggema, salah satunya dengan munculnya petisi daring penolakan. Sebuah petisi berjudul “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!” yang diunggah di situs Change.org telah ditandatangani lebih dari 90 ribu orang. Hingga Kamis (19/12/2024) pukul 08.28 WIB, jumlah tanda tangan mencapai 94.540 orang.
Petisi ini dibuat oleh akun Bareng Warga sejak 19 November 2024, dengan tujuan mendesak Presiden Prabowo Subianto agar segera membatalkan kenaikan PPN yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Dalam petisinya, Bareng Warga menyampaikan alasan-alasan mendesak mengapa PPN 12 persen perlu dibatalkan. Salah satu poin utamanya adalah kenaikan PPN menjadi 12 persen ini dianggap semakin memperberat beban masyarakat, terutama karena harga barang kebutuhan pokok dipastikan ikut naik. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024, angka pengangguran terbuka masih tinggi, mencapai 4,91 juta orang.
Sementara itu, mayoritas pekerja Indonesia—sekitar 57,94 persen dari total 144,64 juta tenaga kerja—masih berada di sektor informal, dengan penghasilan yang tak menentu. Tak hanya itu, data BPS menunjukkan rata-rata upah pekerja saat ini mendekati angka Upah Minimum Provinsi (UMP). Tren ini sempat membaik pada 2022, namun kembali menurun sejak 2023. Di Jakarta, misalnya, hidup layak memerlukan biaya sekitar Rp14 juta per bulan, jauh di atas UMP Jakarta tahun 2024 yang hanya Rp5,06 juta.
Kenaikan PPN dinilai akan semakin menekan daya beli masyarakat yang terus menurun sejak Mei 2024. “Sebelum luka masyarakat kian menganga, sebelum tunggakan pinjaman online membesar, pemerintah perlu membatalkan kenaikan ini,” tulis Bareng Warga dalam petisinya.
Berdasarkan kebijakan pemerintah, mulai 1 Januari 2025, PPN 12 persen akan dikenakan pada beberapa barang dan jasa, di antaranya:
Kebijakan ini diperkirakan mampu menyerap hingga Rp75 triliun pendapatan negara, namun kekhawatiran akan dampaknya pada kesejahteraan masyarakat tetap tinggi.
Sebelumnya, Ketua Komisi XI Misbakhun mengatakan, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen hanya berlaku kepada konsumen yang membeli barang mewah. Hal tersebut Misbakhun sampaikan usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana, Jakarta, Kamis (5/12/2024).
"Hasil diskusi kami dengan Pak Presiden, kami akan tetap ikut UU, bahwa PPN akan tetap berjalan sesuai jadwal waktu amanat di UU yaitu 1 Januari 2025," ujar Misbakhun dalam jumpa pers di Istana.
"Tapi kemudian akan diterapkan secara selektif, selektif kepada beberapa komunitas, baik itu barang dalam negeri maupun impor yang berkaitan dengan barang mewah. Sehingga pemerintah hanya memberi beban itu kepada konsumen pembeli barang mewah," sambungnya. Misbakhun mengatakan, tarif PPN 11 persen akan tetap berlaku bagi masyarakat kecil.
Dengan demikian, kata dia, pemerintah masih akan mempelajari mengenai PPN yang tidak berada dalam 1 tarif ini. "Masyarakat kecil tetap kepada tarif PPN yang saat ini berlaku. Sehingga nanti tidak berlaku lagi, rencananya masih dipelajari oleh pemerintah dilakukan kajian lebih mendalam bahwa PPN nanti akan tidak berada dalam 1 tarif," jelas Misbakhun.
Misbakhun meminta masyarakat tidak perlu khawatir terkait kebutuhan barang pokok, jasa pendidikan, kesehatan, dan perbankan. Sebab, pelayanan umum dan jasa pemerintahan tetap tidak dikenakan PPN. "Bapak Presiden juga berusaha mentertibkan banyak urusan yang berkaitan dengan hal-hal ilegal, sehingga akan tambah penerimaan negara yang selama ini tidak terdeteksi," imbuh Misbakhun.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menegaskan PPN 12 persen hanya untuk barang mewah. "Ada 3 poin, satu, untuk PPN 12 persen akan dikenakan hanya kepada barang-barang mewah. Jadi secara selektif. Kemudian yang kedua, barang-barang pokok dan yang berkaitan dengan layanan yang menyentuh masyarakat masih tetap diberlakukan pajak sekarang, yaitu 11 persen," kata Dasco.
Objek yang dikenakan pajak PPN diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UU PPN Nomor 42 Tahun 2009, berikut daftarnya:
Masih mengacu pada UU PPN, BKP dikategorikan menjadi dua, yaitu BKP berwujud dan BKP tidak berwujud.
Barang berwujud adalah jenis barang yang memiliki bentuk fisik, seperti barang elektronik, pakaian dan barang fashion lainnya, tanah, bangunan, perabot rumah tangga, makanan olahan kemasan, dan kendaraan.
Barang kena pajak tidak berwujud mengacu pada barang yang memiliki hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana perusahaan, formula rahasia atau merek dagang. Selain itu, juga meliputi pengunaan atau hak menggunakan peralatan atau perlengkapan industrial, komersial atau ilmiah. Kemudian, pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial atau komersial.