https://kosoadojapan.com/galapagos-syndrome
Mendengar negara Jepang, pasti semua orang menganggap jika Jepang merupakan salah satu negara yang maju dengan teknologinya, industrinya yang terdepan terutama otomotif yang memegang sekitar 98% pasar di Indonesia, dan inovasinya yang terkadang out-of-the-box dan unik bagi sebagian belahan dunia. Namun, dibalik beberapa hal tersebut, ternyata inovasi dari teknologi tersebut terisolasi di Jepang dan mengalami salah satu apa yang disebut dengan “Sindrom Galapagos” di negaranya sendiri.
Pada tahun 1835, Charles Darwin menjelajahi sekelompok pulau kecil yang terisolasi 1000 km di lepas pantai Ekuador. Apa yang dia temukan pada pulau tersebut adalah beberapa species flora dan fauna seperti sekelompok burung, kura-kura, dan beberapa satwa liar lainnya yang cukup berbeda baik dari pulau lain dalam gugus kepulauan tersebut, maupun dari mereka yang hidup di tempat lainnya. Pada titik ini, Darwin membentuk teori evolusinya, percaya jika isolasi dapat membentuk perkembangan, dan adaptasi terbentuk untuk memenuhi kebutuhan lingkungan dalam situasi tertentu. Hal ini dapat membentuk sebuah perbedaan yang jelas dalam sebuah spesies yang sama. Evolusi yang dia temukan di kepulauan Galapagos terjadi secara lokal yang tidak dapat ditemukan dan hidup di tempat lain.
Sindrom Galapagos (Galapagos Syndrome) adalah sebuah istilah yang berasal dari Jepang yang digunakan dalam studi bisnis untuk merujuk kepada cabang pengembangan terisolasi dari sebuah produk yang tersedia secara global. Istilah ini digunakan sebagai analogi dari teori Charles Darwin, yang menemukan flora dan fauna terisolasi di kepulauan Galapagos dan mengalami perubahan evolusioner secara khusus dari yang lainnya. Fenomena yang ditemukan oleh Charles Darwin tersebut merupakan kunci dari perkembangan teori evolusi yang ia cetuskan. Darwin menyatakan bahwa karena perbedaan lingkungan dari satu pulau ke pulau lain dalam gugus tersebut, spesies beradaptasi untuk membuat kelangsungan hidup lebih layak di lingkungan lokal masing-masing pulau. Demikian juga, inovasi dan pengembangan produk dalam istilah “isolasi dari bagian dunia lainnya karena fokus pada pasar lokal” di Jepang dapat menghasilkan produk yang berbeda juga.
Dalam sejarah Jepang, negara kepulauan itu pernah mengalami periode isolasi yang disebut “Sakoku” yang berlangsung sekitar 220 tahun lamanya. Namun, sejak negara Jepang terbuka dengan dunia pada masa Restorasi Meiji hingga menjadi salah satu inovator industrial pada saat ini, terjadi fenomena aneh yang mirip dengan periode Sakoku telah mempengaruhi cara orang Jepang menjalani kehidupan keseharian mereka.
Dalam kasus ini, revolusi teknologi Jepang mengakibatkan perkembangan teknologi yang sangat pesat, tetapi tidak diimbangi dengan mendapatkan popularitas di luar negeri dan hanya dapat ditemukan di negara Jepang saja. Mulai dari mobil kecil sampai ponsel lipat, perjalanan ke Jepang tidak hanya membingungkan turis asing dengan betapa berbedanya kehidupan orang Jepang, tetapi juga betapa suksesnya Jepang –meskipun sangat berbeda dengan dunia lainnya.
Pada bisnis modern, Sindrom Galapagos telah menjadi kiasan tersendiri untuk menggambarkan produk, layanan, dan bahkan proses yang telah berkembang dengan fokus pada satu pasar atau budaya dan menjadikannya berbeda jika dibandingkan dengan bagian dunia yang lainnya. Istilah tersebut sering digunakan ketika membahas perkembangan produk di Jepang selama 30 tahun terakhir.
Pada tahun 1979, Nippon Telegraph dan Telephone meluncurkan telepon genggam pertama di dunia dengan jaringan 1G. Pada tahun yang sama, Sony juga merilis pemutar kaset portable-nya yang diberi nama “Walkman”. Pada 1999, NTT Docomo membawa mobile internet pertama di Jepang dengan i-mode, dan membawa 3G pada 2001. Jepang juga memulai debut dengan telepon genggam pertama dengan fitur kamera pada tahun 2000-an, dan memperkenalkan pembayaran mobile pada 2004.
Pada industri telekomunikasi, Jepang sudah lama menggunakan standarisasi jaringan nirkabel, mobile data, dan band frekuensinya sendiri dibanding negara lainnya. Hal tersebut mengakibatkan beberapa efek domino yaitu perusahaan asing yang ingin memasuki pasar telekomunikasi di Jepang terhalang oleh standarisasi yang dibuat oleh Jepang sehingga hatus berinvestasi terlebih dahulu untuk dapat mengembangkan produk khusus hanya untuk pasar Jepang. Di sisi lain, perusahaan lokal Jepang yang sudah ada merasa nyaman dan mengabaikan perkembangan bisnis global karena biaya R&D, yang mengakibatkan kurangnya skala global yang membuat perusahaan-perusaahan sulit untuk melanjutkan bisnis yang layak, salah satunya adalah NEC yang merupakan salah satu pemimpin pasar no. 1 di Jepang, menarik diri untuk memproduksi telepon pintar pada tahun 2013.
Pada industri ponsel genggam, Jepang memperkenalkan “Galapagos Phones” (Garake), yang secara umum adalah sebuah feature phone yang secara tampilan menyerupai sistem operasi Symbian dengan dilengkapi berbagai fitur seperti mobile TV, GPS, Mobile Operator, Internet, dll. Garake kehilangan pangsa pasarnya ketika serbuan iOS dan Android masuk ke Jepang dan menghilang beberapa tahun kemudian.
Pada industri pembayaran digital, Jepang melalui NTT-Docomo sudah memperkenalkan telepon dengan dilengkapi dompet digital pertama di dunia pada 10 Juli 2004 –jauh sebelum Apple Pay, Samsung Pay, ataupun Google Pay diperkenalkan. Namun, Sindrom Galapagos ditambah bisnis NTT Docomo yang hanya fokus pada pasar Jepang, mencegah sistem pembayaran digital berbasis telepon genggam bisa mendunia.
Pada industri otomotif, Jepang memperkenalkan K-Car (Kei Car), yaitu sebuah kendaraan ala city-car yang memiliki <660cc dan sangat hemat ruang dan energi. Kei car dapat menikmari keringanan pajak dan setiap pabrikannya menciptakannya dengan sangat inovatif dan menarik. Namun, kelas mobil ini hanya sebatas di Jepang saja dan sulit untuk mencapai skala global.
Sindrom galapagos tentu saja tidak terlepas dari beberapa hal yang ada di Jepang seperti:
Sudah jelas orang Jepang memiliki lebih sedikit kesempatan untuk berinteraksi dengan budaya di negara lain karena mereka semua hanya berada pada satu negara, dan rasio orang asing yang berada di Jepang masih rendah. Hal tersebut tentu saja dipandang sebagai sebuah eksklusifitas untuk negara-negara lain dengan pencampuran budayanya yang kental.
Di banyak industri di Jepang, mereka memiliki spesifikasi dan peraturan mengenai produk mereka sendiri, dan tidak mengikuti standar global. Dengan metode tersebut, mereka mampu mengeluarkan perusahaan-perusahaan asing dari pasar Jepang.
Selanjutnya untuk memaksimalkan pendapatkan, yang biasa mereka lakukan adalah menciptakan produk dengan kualitas terbaik, harga tinggi dan multifungsi. Sebagai hasilnya, Jepang sukses untuk menetapkan pendapatan pelanggan dengan rataan tertinggi dan mendapatkan reputasi dengan produk terbaik juga, tetapi hal tersebut membangun sebuah penyekat diantara negara yang lain juga. Orang Jepang masih percaya dengan produk buatan “Made In Japan”, dan masih cukup banyak orang yang tidak membeli produk buatan negara Asia lainnya.
Biaya pertumbuhan menyebabkan masalah lain sebagai sebuah efek samping. Setelah mencapai titik tertentu, perusahaan Jepang sudah mencapai barasnya dan tidak mampu lagi untuk memperluas jangkauan pelanggannya. Seiring dengan meningkatnya kualitas produk negara lain, semakin sulit bagi perusahaan Jepang untuk mendorong nilai jual mereka. Sah-sah saja jika Jepang mengandalkan hanya dari permintaan domestik saja selama memiliki pertumbuhan ekonomi eksponensial. Namun, tingkat kelahiran dan pertumbuhan PDB yang mulai menurun, akan menjadi sulit bagi perusahaan-perusahaan untuk beralih dari cara sebelumnya ke cara yang baru.
Internet, dompet digital, kamera ponsel, dan banyak teknologi turunannya ditemukan dan/atau pertama kali dipasarkan di Jepang, lebih awal daripada di semua negara yang lain karena aspek positif dari efek Galapagos. Perusahaan Jepang dapat mengembangkan dan membawa produk barunya ke pasar tanpa diperlambat oleh standarisasi global. Dan dengan adanya Sindrom Galapagos ini, kreativitas industrial yang ada di Jepang dapat berjalan dengan bebas dan leluasa.
Artikel ini dirangkum dari:
https://www.eurotechnology.com/insights/galapagos/